Kamis, 28 Januari 2016

PSIKOLOGI AGAMA TERHADAP PERKEMBANGAN REMAJA



PSIKOLOGI AGAMA 
TERHADAP 
PERKEMBANGAN REMAJA

A.       Latar Belakang

Remaja adalah generasi penerus bangsa yang tumbuh dan berkembang untuk melanjutkan perjuangan cita-cita bangsa. Remaja merupakan aset bangsa yang harus dijaga dan dibentuk agar menjadi sumber daya manusia yang berkualitas. Membentuk dan mengukir sosok remaja Indonesia yang berkualitas dan memiliki daya saing tinggi bukan pekerjaan yang sederhana. Menanamkan sifat kemanusiaan dalam diri puluhan juta kaum muda Indonesia bukan tugas dan tanggungjawab yang dapat diselesaikan dalam kurun waktu satu tahun atau dua tahun. Pekerjaan itu harus dilaksanaakan secara terarah, sistematis dan tiada henti-hentinya. Jadi, kewajiban orang tua, masyarakat dan pemerintah adalah memotivasi remaja dalam membentuk kepribadian, perilaku, dan menemukan jati dirinya sesuai dengan nilai kehidupan bangsa Indonesia.
Tantangan yang harus dihadapi oleh bangsa Indonesia dalam era globalisasi dan modernisasi adalah masalah kenakalan remaja. Perubahan dalam segala bidang kehidupan bangsa Indonesia akibat dari perkembangan zaman, menyebabkan timbulnya perubahan dalam kehidupan remaja. Tampak jelas sekali perubahan perilaku, gaya hidup, nilai-nilai dan tatanan kehidupan remaja masa kini dalam kehidupan masyarakat. Perubahan tersebut secara historis akan terus terjadi dan merupakan bagian dari dinamika masyarakat. Tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan-perubahan yang terjadi pada remaja merupakan dampak dari industrialisasi dan penerapan teknologi modern dalam kehidupan. Notosoedirdjo&Latipun (2005) mengungkapkan bahwa industrialisasi di negara berkembang sangat diperlukan untuk meningkatkan taraf kehidupan rakyatnya. Penerapan yang tidak tepat guna dapat menimbulkan disintegrasi sosial dan konflik. Kita harus mengingat bahwa sekalipun industrialisasi merupakan bagian integral bagi pembangunan ekonomi nasional, tetapi bukanlah tujuan pembangunan
Ditinjau dari aspek psikologis perubahan remaja tidak terlepas dari pengaruh emosi dalam kehidupannya, meskipun terkadang emosi itu hanya disadari sebagai bagian dari pengalaman hidupnya. Emosi adalah perasaan yang dialami individu dan hanya dimengerti oleh individu itu sendiri, jika yang bersangkutan tidak menunjukkan perasaannya pada orang lain (Albin, 1986). Situasi emosi yang dialami oleh individu yang mengetahui adalah individu itu sendiri. Kemampuan memahami emosi akan berkembang sejalan dengan perkembangan dari masa anak-anak hingga dewasa. Hal ini sesuai dengan pendapat Sukanto (1985) bahwa emosi berkembang dengan bertambahnya usia dan pengalaman, dan akan berkembang lagi menjadi emosi yang lebih kompleks melalui  proses kondisioning dan deferensiasi.
Permasalahan yang dihadapi oleh remaja saat ini, sangat kompleks dan terjadi diseluruh Nusantara. Permasalahan remaja sudah semakin sering terjadi saat ini, seperti yang telah diberitakan di media masa, seperti perilaku penarikan diri dengan lingkungan sosial, tawuran, seks diluar nikah, mengkonsumsi Narkoba dan merokok. Masalah-masalah tersebut tidak lepas dari kondisi remaja yang berada pada masa krisis. Pada masa ini remaja mengalami ketegangan emosi (Hurlock, 1996). Meningkatnya masalah yang dihadapi oleh remaja yang mengarah kepada penurunan nilai moral yang lebih meluas dapat menyebabkan terjadinya menurunnya nilai generasi muda bangsa Indonesia. Kenakalan remaja yang berkembang dalam kehidupan modern saat ini bila tidak ditanggulangi akan menjadi kebiasaan (kebudayaan) dalam kehidupan remaja dan akan diturunkan pada keturunnya. Berdasarkan pemaparan diatas, penulis mencoba membahas peran agama membentuk pengendalian emosi pada remaja agar kenakalan remaja dapat dicegah dan ditanggulangi dengan baik untuk menunjang kualitas dan daya saing bangsa dalam pembangunan yang berkelanjutan.

B.        Pengertian Remaja

Kata “remaja” berasal dari bahasa latin yaitu adolescere yang berarti to grow atau to grow maturity (Golinko, 1984 dalam Rice, 1990). Banyak tokoh yang memberikan definisi tentang remaja, seperti DeBrun (dalam Rice, 1990) mendefinisikan remaja sebagai periode pertumbuhan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Papalia dan Olds (2001) tidak memberikan pengertian remaja (adolescent) secara eksplisit melainkan secara implisit melalui pengertian masa remaja (adolescence). Menurut Papalia dan Olds (2001), masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluhan tahun.
Para ahli psikologi memang belum sepakat mengenai rentang usia remaja, namun dalam bidang agama para ahli psikologi agama menganggap “bahwa kemantapan beragama biasanya tidak akan terjadi sebelum usia 24 tahun”. Jadi dilihat dari sudut pandang agama maka usia remaja beralangsung antara usia 13 – 24 tahun (zakiyah Darajat, 2003:85/Sururin, 2004:64).
Darimana rasa agama pada remaja muncul? Ide-ide agama, dasar-dasar keyakinan dan pokok-pokok ajaran agama pada dasarnya telah diterima oleh seorang anak pada masa anak-anak. Apa yang telah diterima dan tumbuh dari kecil itulah yang menjadi keyakinan individu pada masa remaja melalui pengalaman-pengalaman yang dirasakannya (Zakiyyah Darajat, 2003: 85-85).

C.        Perkembangan Rasa Agama (beragama) pada Remaja

Perkembangan beragama pada remaja dipenaruhi oleh beberapa hal, yaitu:

1.    Pertumbuhan dan Pikiran Mental

Pertumbuhan pengertian tentang ide-ide agama sejalan dengan pertumbuhan kecerdasan (Zakiyah Darajat, 2003: 86). Menurut Peaget ”Perkembangan kognitif usia remaja bergerak dari cara berpikir yang konkrit menuju cara berpikir yang proporsional”. Berdasarkan pendapat ini, Ronald Goldman menerapkannya dalam bidang agama dengan membuat sebuah kesimpulan: “Pertumbuhan kognitif memberi kemungkinan terjadi perpindahan/transisi dari agama yang lahiriyah menuju agma yang batiniah”.
Jadi, perkembangan kognitif memberi kemungkinan remaja untuk meninggalkan agama anak-anak yang diperoleh dari lingkungan dan mulai memikirkan konsep serta bergerak menuju agama “iman” yang sifatnya sungguh-sungguh personal (Sururin. 2004:67).
Agama berkaitan dengan hal-hal yang abstrak seperti tentang hari akhirat, surga, neraka, dll. Pengertian tentang hal-hal yang abstrak itu baru dapat diterima apabila pertumbuhan kecerdasan individu telah memungkinkan untuk itu. Menurut Alfred Binet “Kemampuan untuk mengerti masalah-masalah yang abstrak tidak sempurna perkembangannya sebelum mencapai usia 12 tahun. Kemungkinan untuk mengambil kesimpulan yang abstrak dari fakta-fakta yang ada baru tampak pada usia 14 tahun”. Remaja sudah mulai kritis terhadap ajaran agama, dengan cara dapat menolak saran-saran yang tidak dapat dimengertinya atau mengkritik pendapat-pendapat yang berlawanan dengan kesimpulan yang diambilnya.
Remaja menjadi bimbang beragama apabila seorang anak/remaja mendapat pendidikan agama dengan cara yang memungkinkan mereka untuk berpikir bebas dan boleh mengkritik hal yang berkaitan dengan agama, namun, jika seorang anak/remaja mendapat pendidikan agama dengan cara yang tidak memungkinkan mereka untuk berpikir bebas dan boleh mengkritik hal yang berkaitan dengan agama mereka tidak akan merasa bimbang dalam beragama.

2.    Perasaaan Beragama

Masa remaja adalah masa bergejolaknya bermacam-macam perasaan yang kadang-kadang bertentangan satu sama lain. Kondisi ini menyebabkan terjadinya perubahan emosi yang begitu cepat dalam diri remaja. Ketidakstabilan perasaan remaja kepada Tuhan/Agama. Misalnya, Kebutuhan remaja akan tuhan kadang-kadang tidak terasa ketika remaja dalam keadaan tenang, aman, dan tentram. Sebaliknya tuhan sangat dibutuhkan apabila remaja dalam keadaan gelisah, ketika ada ancaman, takut akan kegelapan, ketika merasa berdosa.
Jadi, gelombang kuatnya rasa agama bagi remaja adalah merupakan usaha-usaha remaja untuk menenangkan kegoncangan jiwa yang sewaktu-waktu muncul. Remaja akan melakukan kegiatan beragama pada saat ingin mengurangkan kesedihan, ketakutan, dan rasa penyesalan.

3.    Pertimbangan Sosial

Dalam kehidupan keagamaan, remaja cenderung dihadapkan pada konflik antara pertimbangan moral dan materil. Terhadap konflik ini remaja cenderung bingung untuk menentukan pilihan. Kondisi ini menyebabkan remaja menjadi cenderung pada pertimbangan lingkungan sosialnya. Jika remaja hidup dan dipengaruhi oleh lingkungan yang lebih mementingkan kehidupan duniawi/materialitas, maka remaja akan menjadi cenderung jiwanya untuk menjadi materialistis dan jauh dari agama. Sebaliknya, jika remaja hidup dan dipengaruhi oleh lingkungan yang lebih mementingkan kehidupan yang religious/moralis, maka remaja akan cenderung jiwanya untuk menjadi religious/moralis (Jalaluddin, 2002:75).

4.    Perkembangan Moral

Pertumbuhan dan perkembangan moral terjadi melalui pengalaman-pengalaman dan pembiasaan yang ditanamkan sejak kecil oleh orang tua. Perkembangannya baru dapat dikatakan mencapai kematangan pada usia remaja (Zakiyah Darajat, 2003: 97). Pada masa remaja perkembangan moral bertitik tolak dari rasa bersalah dan usaha untuk mencari proteksi. Pada masa remaja Tuhan lebih menonjol sebagai penolong moral. Pada masa remaja, dorongan seksual bangkit dalam bentuk yang lebih jelas. Kondisi ini merupakan bahaya yang mengancam nila-nilai/norma yang dipatuhi remaja selama ini. Dari sini timbul pada diri remaja perasaan tidak berdaya dalam menghadapi dorongan yang belum diketahui dalam hidupnya dulu. Untuk mengatasi dorongan-dorongan naluri itu disatu sisi dan disisi lain adanya keinginan untuk mengurangkan hubungannya dengan orangtuanya dalam menghadapi kenyataan hidup menyebabkan remaja berusaha mencari pertolongan Allah (Zakiyah Darajat, 2003:100).
Adapun bentuk-bentuk moral yang ada pada remaja:
a.       Self-Directive, taat pada agama berdasarkan pertimbangn pribadi.
b.      Submissive, Remaja merasakan adanya keraguan terhadap ajaran agama/moral.
c.       Un adjusted, Remaja belum meyakini akan kebnaran ajaran agama/moral.
d.      Deviant, remaja menolak dasar dan hukum keagamaan serta tatanam moral masyarakat (Jalaluddin, 2002:76).

5.    Sikap dan Minta

Pada masa remaja sikap dan minat remaja terhadap masalah keagamaan sangat kecil, namun hal ini masih sangat tergantung pada kebiasaan masa kecil dan lingkungan agama yang mempengaruhi mereka.

6.    Ibadah

Perkembangan remaja dalam bidang agama juga dipengaruhi oleh pandangan mereka terhadap ibadah.

D.       Keraguan dan Konflik dalam Beragama

Hasil penelitian yang dilakukan oleh W. Sturbuck menunjukan bahwa dari 142 remaja yang berusia 11-26 tahun, terdapat 53% yang mengalami keraguan tentang beberapa hal, antara lain:
1.    Ajaran agama yang mereka terima.
2.    Cara penerapan ajaran agama.
3.    Keadaan lembaga-lembaga keagamaan.
4.    Para pemuka agama
Sedangkan terhadap objek yang serupa ketika diteliti khusus pada mahasiswa. Maka persentase yang mengalami keraguan itu mencapai 75% dari 95 orang mahasiswa.
Menurut analisis yang dilakukan W.Starbuck, keraguan itu disebabkan oleh factor:

1.    Kepribadian

Tipe kepribadian dan jenis kelamin, bisa menyebabkan remaja melakukan salah tafsir terhadap ajaran agama. Bagi individu yang memiliki kepribadian yang introvert, ketika mereka mendapatkan kegagalan dalam mendapatkan pertolongan Tuhan, maka akan menyebabkan mereka salah tafsir terhadap sifat Maha Pengasih dan Maha Penyayangnya Tuhan. Misalnya: Ketika berdoa’a tidak terkabul, maka mereka akan menjadi ragu akan kebenaran sifat Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang Tuhan tersebut. Kondisi ini akan sangat membekas pada remaja yang introvert walau sebelumnya dia taat beragama. Untuk jenis kelamin, wanita yang cepat matang akan lebih menunjukkan keraguan pada ajaran agama dibandingkan pada laki-laki.

2.    Kesalahan Organisasi Keagamaan dan Pemuka Agama

Kesalahan ini dipicu oleh kenyataannya, bahwa terdapat banyak organisasi dan aliran-aliran keagamaan dalam masyarakat. Dalam pandangan remaja hal itu mengesankan adanya pertentangan dalam ajaran agama. Selain itu remaja juga melihat kenyataan tindak tanduk keagamaan para pemuka agama yang tidak sepenuhnya menuruti tuntutan agama itu sendiri. Kedua kondisi ini dapat menyebabkan remaja menjadi ragu pada ajaran agamanya.

3.    Pernyataan Kebutuhan Agama

Pada dasarnya manusia memiliki sifat senang dengan yang sudah ada, namun disisi lain, manusia juga memiliki dorongan untuk ingin tahu. Kedua sifat bawaan ini merupakan kenyataan dari kebutuhan manusia yag normal. Dengan dorongan keingintahuan, maka remaja akan terdorong untuk mempelajari/mengkaji ajaran agamanya. Jika dalam pengkajian itu terdapat perbedaan-perbedaan atau terdapat ketidaksejalanan dengan apa yang telah dimilikinya (konservatif) maka akan menimbulkan keraguan.

4.    Kebiasaan

Remaja yang sudah terbiasa dengan suatu tradisi keagamaan yang dianutnya akan ragu untuk menerima kebenaran ajaran lain yang baru diterimanya/dilihatnya.

5.    Pendidikan

Kondisi ini terjadi pada remaja yang terpelajar. Remaja yang terpelajar akan lebih kritis terhadap ajaran agamanya. Terutama yang banyak mengandung ajaran yang bersifat dogmatis. Apalagi jika mereka memiliki kemampuan untuk menafsirkan ajaran agama yang dianutnya secara lebih rasional.

6.    Percampuran Antara Agama dengan Mistik

Dalam kenyataan yang ada ditengah-tengah masyarakat, kadang-kadang tanpa disadari ada tindak keagamaan yang mereka lakukan ditopangi oleh mistik dan praktek kebatinan. Penyatuan unsur ini menyebabkan remaja menjadi ragu untuk menentukan antara unsur agama dengan mistik. Penyebab keraguan remaja dalam bidang agama yang dikemukakan oleh Starbuck diatas, adalah penyebab keraguan yang bersifat umum bukan yang bersifat individual. Keraguan remaja pada agama bisa juga terjadi secara individual. Keraguan yang bersifat individual ini disebabkan oleh:
a)        Kepercayaan. Keraguan yang menyangkut masalah ke-Tuhanan dan implikasinya. Keraguan seperti berpeluang pada remaja agama Kristen, yaitu: tentang ke-Tuhanan yang Trinitas.
b)        Tempat Suci. Keraguan yang menyangkut masalah pemuliaan dan pengaguman tempat-tempat suci.
c)        Alat Perlengkapan Agama. Misalnya: Fungsi salib pada ajaran agama kristen, pendeta sebagai penghapus dosa pemuka agama, biarawan dan biarawati.
Keraguan yang dialami remaja dalam bidang agama dapat memicu konflik dalam diri remaja. Bentuk dari konflik itu adalah remaja akan dihadapkan kepada pemilihan antara mana yang baik dan yang buruk serta antara yang benar dan salah. Selain itu dapat juga timbul konflik di dalam diri para remaja, antara lain konflik yang terjadi antara percaya dan ragu, konflik yang terjadi antara pemilihan satu diantara dua macam agama atau antara dua ide keagamaan atau antara dua lembaga keagamaan, konflik yang terjadi oleh pemilihan antara ketaatan beragama atau sekuler, serta konflik yang terjadi antara melepaskan kebiasaan masa lalu dengan kehidupan keagamaan yang didasarkan atas petunjuk Ilahi.
Selain itu tingkat keyakinan dan ketaatan remaja pada agama sangat dipengaruhi oleh kemampuan mereka dalam menyelesaikan keraguan dan konflik batin yang terjadi dalam dirinya. Dalam upaya mengatasi konflik batin, para remaja cenderung untuk bergabung dalam peer groups-nya dalam rangka berbagi rasa dan pengalaman. Kondisi inipun akan mempengaruhi keyakinan dan ketaatan remaja pada agama (Jalaluddin, 2002:78-81)

E.        Motivasi Beragama pada Remaja

Menurut Yahya Jaya, motivasi beragama adalah usaha yang ada dalam diri manusia yang mendorongnya untuk berbuat sesuatu tindak keagamaan dengan tujuan tertentu atau usaha yang menyebabkan seseorang beragama. Dan menurut Nico Syukur, Manusia termotivasi untuk beragama atau melakukan tindak keagamaan dalam 4 hal:
1.    Didorng oleh keinginan untuk mengatasi frustasi dalam kehidupan, baik:
a)    Frustasi karena kesukaran alam
b)    Frustasi karena social
c)    Frustasi karena moral
d)    Frustasi karena kematian
2.    Didorong oleh keinginan untuk menjaga kesusilaan dan tata tertib masyarakat
3.    Didorong oleh keinginan untuk memuaskan rasa ingin tahu atau intelek ingin tahu manusia.
4.    Didorong oleh keinginan menjadikan agama sebagai sarana untuk mengatasi ketakutan.
Namun, karena remaja masih belum stabil emosinya, maka di luar empat hal diatas, ada hal-hal lain yang memotivasi remaja untuk beragama/melakukan tindakan keagamaan:
1.    Didorong oleh kebutuhan remaja akan Tuhan sebagai pengendali emosional dan nalurinya.
2.    Didorong oleh perasaan takut atau perasaan bersalah.
3.    Didorong oleh teman-teman sebaya dimana ia berkelompok (Sururin, 2004:72)

F.         Sikap Remaja dalam Beragama

Pada masa remaja berabgai cara dilakukan mereka untuk mengekspresikan jiwa keagamaan itu sangat dipengaruhi oleh pengalaman beragama yang dilaluinya. Ekspresi dan pengalaman beragama remaja itu dapat dilihat oleh sikap keberagamaannya, yang meliputi:

1.    Percaya Ikutan-Ikutan

Sifat beragama yang ikut-ikutan ini biasanya hanya terjadi pada usia diantara 13-16 tahun, dan akan hilang jika pemikiran kritis remaja sudah berkembang. Karakteristik percaya ikut-ikutan ini dapat terlihat dari beberapa sikap berikut ini:
a)        Bersikap apatis dalam mengekspresikan ajaran/tindakan agama.
b)        Tidak ada perhatian untuk meningkatkan penghayatan agamanya.
c)        Tidak mau terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan agama.
Jadi secara umum dapat dikatakan remaja yang sikap keberagamaannya masih percaya ikut-ikutan dalam kelaksanakan ibadah dan ajaran agama sekedar hanya mengikuti suasana lingkungan dimana dia hidup. Terdapat dua faktor yang menyebabkan munculnya sikap remaja beragama, percaya ikut-ikutan, yaitu:
a)        Jika semenjak kecil diberikan pendidikan agama dengan cara yang menyenangkan, yang jauh dari pengalaman-pengalaman pahit.
b)        Pada saat remaja, mereka tidak mengalami peristiwa-peristiwa atau hal yang menggoncangkan jiwanya.
Kedua factor ini menyebabkan remaja tidak perlu meninjau kembali ajaran/tindakan keagamaan yang diterima dimasa kanak-kanak, sehingga cara beragama yang bersifat kekanak-kanakan masih terus berjalan.

2.    Percaya dengan Kesadaran

Sifat beragama remaja yang percaya dengan kesadaran ini biasanya dimulai sekitar usia 16 tahun. Terdapat beberapa hal yang menyebabkan munculnya sikap beragama remaja yang percaya dengan kesadaran.
a)        Meredanya kegoncangan yang dialami remaja sebagai dampak dari perubahan jasmani yang begitu cepat.
b)        Hampir selesainya pertumbuhan jasmani.
c)        Kemampuan berpikir yang sudah semakin matang.
d)        Bertambahnya pengetahuan remaja.
Semua kondisi itu mendorong remaja untuk lebih memikirkan dirinya sendiri, ingin mengambil tempat dan menonjol dalam masyarakat, perhatiannya pada ilmu pengetahuan, agama dan masalah sosial semakin bertambah. Hal ini memunculkan karakteristik remaja yang percaya dengan kesaradan, yaitu:
a)        Dalam diri remaja muncul semangat keagamaan yang dimulai dari munculnya kecenderungan remaja untuk meninjau kembali cara beragama yang diterima masa kecil dulu.
b)        Remaja punya keinginan untuk menjadikan agama sebagai suatu lapangan baru untuk membuktikan kepribadiannya. Semangat remaja sebagai dampak adanya kepercayaan dengan kesadaran ini muncul dalam 2 bentuk:
1)        Semangat agama dalam bntuk positif
Cirinya:
-          Remaja berusaha melihat agama dengan pandangan yang kritis.
-          Remaja tidak mau lagi menerima hal-hal yang tidak masuk akal dalam masalah agama.
-          Remaja tidak mau mencampuradukkan agama dengan hal-hal yang bersifat khurafat/tahayul.
-          Remaja akan menyerang adat kebiasan yang dipandang tidak masuk akal dan kurang sesuai dengan agama.
-          Remaja melontarkan kritik kepada pemimpin agama, yang mereka anggap kolot dan tidak mengikuti perkembangan zaman.
2)   Semangat agama dalam bentuk negatif
Cirinya:
-          Cenderung mengambil unsur-unsur luar yang tercampur dalam agama, seperti: khurafat/tahayyl, bid’ah dan lain-lain.
-          Senang pergi dan percaya pada dukun, tempat-tempat tertentu atau jimat.
-          Menjadikan ayat-ayat sebagai jimat penangkal bahaya.

3.    Percaya tapi Agak Ragu/Bimbang

Puncak kebimbangan remaja pada agama terjadi antara usia 17-20 tahun. Faktor yang menyebabkan remaja bimbang pada ajaran agamanya adalah:
a)        Keadaan jiwa remaja yang bersangkutan. Kebimbangan remaja itu mungkin disebabkan oleh kebebasan berpikir sehingga agama menjadi sasaran dari arus sekularisme.
b)        Keadaan sosial serta kebudayaanyang melingkupi remaja tersebut. Kebimbangan remaja pada agama itu mungkin disebabkan oleh keadaan masyarakat yang dipenuhi oleh penderitaan, kemorosotan moral dan kekacauan.
c)         Adanya kontradiksi antara kenyataan yang dilihat remaja dengan apa yang diyakinya. Kontradiksi itu meliputi:
1)        Kontradiksi antara ajaran agama dengan ilmu pengetahuan
2)   Kontradiksi antara nilai-nilai moral dengan tingkah laku manusia dalam kenyataan hidup.
3)   Kontradiksi antara nilai-nilai agama dengan tindakan para tokoh agama, guru, pimpinan, orang tua, dan lain-lain.
Menurut Hurlock, kebimbangan dan kerguan akan memunculkan dampak, antara lain:
a)        Bagi sekelompok remaja menjadi tidak taat beragama
b)        Bagi sekelompok remaja yang lain berusaha untuk mencari kepercayaan/agama lain yang dapat memenuhi kebutuhannya dari pada kepercayaan yang dianut keluarganya.
c)         Bagi remaja yang tidak menemukan jalan keluar untuk menghilangkan keraguannya sesuai dengan ajaran agamanya, mereka akan cenderung menjadi ateistik/tidak percaya pada Tuhan/Agama.
Yang harus dilakukan agar remaja terhindar dari dampak negatif akibat dari kebimbangan tersebut adalah:
a)        Menciptakan hubungan dengan penuh kasih sayang antara remaja dengan orang tua atau dengan orang-orang yang dicintainya.
b)        Kelompok/Masyarakat harus mampu menciptakan kondisi yang mencerminkan ketekunan dalam menjalankan syariat agama. Hal ini akan menjauhkan remaja dari keingkaran karena merasa terikat oleh tata tertib/aturan masyarakat.
c)         Remaja bersangkutan harus berjuang untuk mengatasi perasaan kebimbangan yang muncul terhadap Tuhan/Sifat-sifat Tuhan/Agama.

4.    Tidak Percaya pada Tuhan atau Cenderung Ateis

Hal-hal yang menyebabkan timbulnya sikap tidak percaya pada Tuhan dimasa remaja.
a)        Bersumber dari pengalaman pahit anak semasa kecil
Apabila seseorang anak merasa tertekan oleh kekuasaan atau kezaliman orang tua kepadanya. Kondisi ini menyebabkan timbulnya sikap mendendam dan menentang terhadap kekuasaan orang tua dan kekuasaan siapapun. Setelah usia remaja sikap menentang itu dialihkan kepada Tuhan.
b)        Keadaan dan peristiwa-peristiwa yang dialami remaja, terutama kebudayaan dan filsafat yang melingkupinya.
Seperti:
1)   Dalam masyarakat ada ide-ide dan keyakinan yang baru yang dapat menggantikan ide dan keyakinan remaja.
2)   Temuan-temuan baru dalam bidang pengetahuan yang bertentangan dengan ide dan keyakinan remaja.
3)   Temuan-temuan baru dalam bidang pengetahuan yang bertentangan dengan ide dan keyakinan agama yang dianutnya.

5.    Dorongan seksual yang dirasakan remaja

Dorongan seksual yang tidak terpenuhi itu menyebabkan remaja menjadi kecewa. Apabila kekecewaannya berulang-ulang dan bertumpuk, maka akan tumbuh dalam dirinya rasa pesimis dan putus asa dalam hidup. Dalam kondisi seperti itu, lambat laun akan benci/marah kepada agama, kebiasaan dan nilai-nilai akhlak, karena agama, kebiasaan-kebiasaan dan nilai-nilai akhlak menghalanginya untuk mencapai kepuasan seksual (Zakiyah Darajat, 2003:106-122, Sururin,2004:72-78)

G.       Kesimpulan

Remaja adalah generasi penerus bangsa yang tumbuh dan berkembang untuk melanjutkan perjuangan cita-cita bangsa. Kata “remaja” berasal dari bahasa latin yaitu adolescere yang berarti to grow atau to grow maturity (Golinko, 1984 dalam Rice, 1990).

H.       DAFTAR PUSTAKA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar