PSIKOLOGI AGAMA
TERHADAP
PERKEMBANGAN
REMAJA
A. Latar Belakang
Remaja adalah generasi penerus bangsa yang
tumbuh dan berkembang untuk melanjutkan perjuangan cita-cita bangsa. Remaja
merupakan aset bangsa yang harus dijaga dan dibentuk agar menjadi sumber daya
manusia yang berkualitas. Membentuk dan mengukir sosok remaja Indonesia yang
berkualitas dan memiliki daya saing tinggi bukan pekerjaan yang sederhana.
Menanamkan sifat kemanusiaan dalam diri puluhan juta kaum muda Indonesia bukan
tugas dan tanggungjawab yang dapat diselesaikan dalam kurun waktu satu tahun
atau dua tahun. Pekerjaan itu harus dilaksanaakan secara terarah, sistematis
dan tiada henti-hentinya. Jadi, kewajiban orang tua, masyarakat dan pemerintah
adalah memotivasi remaja dalam membentuk kepribadian, perilaku, dan menemukan
jati dirinya sesuai dengan nilai kehidupan bangsa Indonesia.
Tantangan yang harus dihadapi oleh bangsa
Indonesia dalam era globalisasi dan modernisasi adalah masalah kenakalan
remaja. Perubahan dalam segala bidang kehidupan bangsa Indonesia akibat dari
perkembangan zaman, menyebabkan timbulnya perubahan dalam kehidupan remaja.
Tampak jelas sekali perubahan perilaku, gaya hidup, nilai-nilai dan tatanan
kehidupan remaja masa kini dalam kehidupan masyarakat. Perubahan tersebut
secara historis akan terus terjadi dan merupakan bagian dari dinamika
masyarakat. Tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan-perubahan yang terjadi pada
remaja merupakan dampak dari industrialisasi dan penerapan teknologi modern
dalam kehidupan. Notosoedirdjo&Latipun (2005) mengungkapkan bahwa
industrialisasi di negara berkembang sangat diperlukan untuk meningkatkan taraf
kehidupan rakyatnya. Penerapan yang tidak tepat guna dapat menimbulkan
disintegrasi sosial dan konflik. Kita harus mengingat bahwa sekalipun
industrialisasi merupakan bagian integral bagi pembangunan ekonomi nasional,
tetapi bukanlah tujuan pembangunan
Ditinjau dari aspek psikologis perubahan
remaja tidak terlepas dari pengaruh emosi dalam kehidupannya, meskipun
terkadang emosi itu hanya disadari sebagai bagian dari pengalaman hidupnya.
Emosi adalah perasaan yang dialami individu dan hanya dimengerti oleh individu
itu sendiri, jika yang bersangkutan tidak menunjukkan perasaannya pada orang
lain (Albin, 1986). Situasi emosi yang dialami oleh individu yang mengetahui
adalah individu itu sendiri. Kemampuan memahami emosi akan berkembang sejalan
dengan perkembangan dari masa anak-anak hingga dewasa. Hal ini sesuai dengan
pendapat Sukanto (1985) bahwa emosi berkembang dengan bertambahnya usia dan
pengalaman, dan akan berkembang lagi menjadi emosi yang lebih kompleks
melalui proses kondisioning dan deferensiasi.
Permasalahan yang dihadapi oleh remaja saat
ini, sangat kompleks dan terjadi diseluruh Nusantara. Permasalahan remaja sudah
semakin sering terjadi saat ini, seperti yang telah diberitakan di media masa,
seperti perilaku penarikan diri dengan lingkungan sosial, tawuran, seks diluar
nikah, mengkonsumsi Narkoba dan merokok. Masalah-masalah tersebut tidak lepas
dari kondisi remaja yang berada pada masa krisis. Pada masa ini remaja
mengalami ketegangan emosi (Hurlock, 1996). Meningkatnya masalah yang dihadapi
oleh remaja yang mengarah kepada penurunan nilai moral yang lebih meluas dapat
menyebabkan terjadinya menurunnya nilai generasi muda bangsa Indonesia.
Kenakalan remaja yang berkembang dalam kehidupan modern saat ini bila tidak
ditanggulangi akan menjadi kebiasaan (kebudayaan) dalam kehidupan remaja dan
akan diturunkan pada keturunnya. Berdasarkan pemaparan diatas, penulis mencoba
membahas peran agama membentuk pengendalian emosi pada remaja agar kenakalan
remaja dapat dicegah dan ditanggulangi dengan baik untuk menunjang kualitas dan
daya saing bangsa dalam pembangunan yang berkelanjutan.
B.
Pengertian
Remaja
Kata “remaja” berasal dari bahasa
latin yaitu adolescere yang berarti to grow atau to grow maturity (Golinko,
1984 dalam Rice, 1990). Banyak tokoh yang memberikan definisi tentang remaja,
seperti DeBrun (dalam Rice, 1990) mendefinisikan remaja sebagai periode
pertumbuhan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Papalia dan Olds (2001)
tidak memberikan pengertian remaja (adolescent) secara eksplisit melainkan
secara implisit melalui pengertian masa remaja (adolescence). Menurut Papalia
dan Olds (2001), masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa
kanak-kanak dan masa dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13
tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluhan tahun.
Para ahli psikologi memang belum
sepakat mengenai rentang usia remaja, namun dalam bidang agama para ahli
psikologi agama menganggap “bahwa kemantapan beragama biasanya tidak akan
terjadi sebelum usia 24 tahun”. Jadi dilihat dari sudut pandang agama maka usia
remaja beralangsung antara usia 13 – 24 tahun (zakiyah Darajat,
2003:85/Sururin, 2004:64).
Darimana rasa agama pada remaja
muncul? Ide-ide agama, dasar-dasar keyakinan dan pokok-pokok ajaran agama pada
dasarnya telah diterima oleh seorang anak pada masa anak-anak. Apa yang telah
diterima dan tumbuh dari kecil itulah yang menjadi keyakinan individu pada masa
remaja melalui pengalaman-pengalaman yang dirasakannya (Zakiyyah Darajat, 2003:
85-85).
C.
Perkembangan Rasa Agama (beragama) pada
Remaja
Perkembangan
beragama pada remaja dipenaruhi oleh beberapa hal, yaitu:
1. Pertumbuhan
dan Pikiran Mental
Pertumbuhan pengertian tentang ide-ide
agama sejalan dengan pertumbuhan kecerdasan (Zakiyah Darajat, 2003: 86). Menurut
Peaget ”Perkembangan kognitif usia remaja bergerak dari cara berpikir yang
konkrit menuju cara berpikir yang proporsional”. Berdasarkan pendapat ini,
Ronald Goldman menerapkannya dalam bidang agama dengan membuat sebuah kesimpulan:
“Pertumbuhan kognitif memberi kemungkinan terjadi perpindahan/transisi dari
agama yang lahiriyah menuju agma yang batiniah”.
Jadi, perkembangan kognitif memberi
kemungkinan remaja untuk meninggalkan agama anak-anak yang diperoleh dari
lingkungan dan mulai memikirkan konsep serta bergerak menuju agama “iman” yang
sifatnya sungguh-sungguh personal (Sururin. 2004:67).
Agama berkaitan dengan hal-hal yang
abstrak seperti tentang hari akhirat, surga, neraka, dll. Pengertian tentang
hal-hal yang abstrak itu baru dapat diterima apabila pertumbuhan kecerdasan
individu telah memungkinkan untuk itu. Menurut Alfred Binet “Kemampuan untuk
mengerti masalah-masalah yang abstrak tidak sempurna perkembangannya sebelum
mencapai usia 12 tahun. Kemungkinan untuk mengambil kesimpulan yang abstrak
dari fakta-fakta yang ada baru tampak pada usia 14 tahun”. Remaja sudah mulai
kritis terhadap ajaran agama, dengan cara dapat menolak saran-saran yang tidak
dapat dimengertinya atau mengkritik pendapat-pendapat yang berlawanan dengan
kesimpulan yang diambilnya.
Remaja menjadi bimbang beragama
apabila seorang anak/remaja mendapat pendidikan agama dengan cara yang
memungkinkan mereka untuk berpikir bebas dan boleh mengkritik hal yang
berkaitan dengan agama, namun, jika seorang anak/remaja mendapat pendidikan
agama dengan cara
yang tidak memungkinkan mereka untuk berpikir bebas dan boleh mengkritik
hal yang berkaitan dengan agama mereka tidak akan merasa bimbang dalam beragama.
2. Perasaaan
Beragama
Masa remaja adalah masa bergejolaknya
bermacam-macam perasaan yang kadang-kadang bertentangan satu sama lain. Kondisi
ini menyebabkan terjadinya perubahan emosi yang begitu cepat dalam diri remaja.
Ketidakstabilan perasaan remaja kepada Tuhan/Agama. Misalnya, Kebutuhan remaja
akan tuhan kadang-kadang tidak terasa ketika remaja dalam keadaan tenang, aman,
dan tentram. Sebaliknya tuhan sangat dibutuhkan apabila remaja dalam keadaan
gelisah, ketika ada ancaman, takut akan kegelapan, ketika merasa berdosa.
Jadi, gelombang kuatnya rasa agama bagi remaja
adalah merupakan usaha-usaha remaja untuk menenangkan kegoncangan jiwa yang
sewaktu-waktu muncul. Remaja akan melakukan kegiatan beragama pada saat ingin
mengurangkan kesedihan, ketakutan, dan rasa penyesalan.
3. Pertimbangan
Sosial
Dalam kehidupan keagamaan, remaja cenderung
dihadapkan pada konflik antara pertimbangan moral dan materil. Terhadap konflik
ini remaja cenderung bingung untuk menentukan pilihan. Kondisi ini menyebabkan
remaja menjadi cenderung pada pertimbangan lingkungan sosialnya. Jika remaja
hidup dan dipengaruhi oleh lingkungan yang lebih mementingkan kehidupan
duniawi/materialitas, maka remaja akan menjadi cenderung jiwanya untuk menjadi
materialistis dan jauh dari agama. Sebaliknya, jika remaja hidup dan
dipengaruhi oleh lingkungan yang lebih mementingkan kehidupan yang
religious/moralis, maka remaja akan cenderung jiwanya untuk menjadi
religious/moralis (Jalaluddin, 2002:75).
4. Perkembangan
Moral
Pertumbuhan dan perkembangan moral terjadi
melalui pengalaman-pengalaman dan pembiasaan yang ditanamkan sejak kecil oleh
orang tua. Perkembangannya baru dapat dikatakan mencapai kematangan pada usia
remaja (Zakiyah Darajat, 2003: 97). Pada masa remaja perkembangan moral
bertitik tolak dari rasa bersalah dan usaha untuk mencari proteksi. Pada masa
remaja Tuhan lebih menonjol sebagai penolong moral. Pada masa remaja, dorongan
seksual bangkit dalam bentuk yang lebih jelas. Kondisi ini merupakan bahaya
yang mengancam nila-nilai/norma yang dipatuhi remaja selama ini. Dari sini
timbul pada diri remaja perasaan tidak berdaya dalam menghadapi dorongan yang
belum diketahui dalam hidupnya dulu. Untuk mengatasi dorongan-dorongan naluri
itu disatu sisi dan disisi lain adanya keinginan untuk mengurangkan hubungannya
dengan orangtuanya dalam menghadapi kenyataan hidup menyebabkan remaja berusaha
mencari pertolongan Allah (Zakiyah Darajat, 2003:100).
Adapun bentuk-bentuk moral yang ada pada
remaja:
a.
Self-Directive, taat pada agama
berdasarkan pertimbangn pribadi.
b.
Submissive, Remaja merasakan adanya
keraguan terhadap ajaran agama/moral.
c.
Un adjusted, Remaja belum meyakini
akan kebnaran ajaran agama/moral.
d.
Deviant, remaja menolak dasar dan
hukum keagamaan serta tatanam moral masyarakat (Jalaluddin, 2002:76).
5. Sikap
dan Minta
Pada masa remaja sikap dan minat remaja
terhadap masalah keagamaan sangat kecil, namun hal ini masih sangat tergantung
pada kebiasaan masa kecil dan lingkungan agama yang mempengaruhi mereka.
6. Ibadah
Perkembangan remaja dalam bidang agama juga
dipengaruhi oleh pandangan mereka terhadap ibadah.
D. Keraguan
dan Konflik dalam Beragama
Hasil penelitian yang dilakukan oleh W.
Sturbuck menunjukan bahwa dari 142 remaja yang berusia 11-26 tahun, terdapat
53% yang mengalami keraguan tentang beberapa hal, antara lain:
1.
Ajaran agama yang mereka terima.
2.
Cara penerapan ajaran agama.
3.
Keadaan lembaga-lembaga keagamaan.
4.
Para pemuka agama
Sedangkan terhadap objek yang serupa ketika
diteliti khusus pada mahasiswa. Maka persentase yang mengalami keraguan itu
mencapai 75% dari 95 orang mahasiswa.
Menurut analisis yang dilakukan W.Starbuck,
keraguan itu disebabkan oleh factor:
1. Kepribadian
Tipe kepribadian dan jenis kelamin, bisa
menyebabkan remaja melakukan salah tafsir terhadap ajaran agama. Bagi individu
yang memiliki kepribadian yang introvert, ketika mereka mendapatkan kegagalan
dalam mendapatkan pertolongan Tuhan, maka akan menyebabkan mereka salah tafsir
terhadap sifat Maha Pengasih dan Maha Penyayangnya Tuhan. Misalnya: Ketika
berdoa’a tidak terkabul, maka mereka akan menjadi ragu akan kebenaran sifat
Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang Tuhan tersebut. Kondisi ini akan sangat
membekas pada remaja yang introvert walau sebelumnya dia taat beragama. Untuk
jenis kelamin, wanita yang cepat matang akan lebih menunjukkan keraguan pada
ajaran agama dibandingkan pada laki-laki.
2. Kesalahan
Organisasi Keagamaan dan Pemuka Agama
Kesalahan ini dipicu oleh kenyataannya, bahwa terdapat banyak
organisasi dan aliran-aliran keagamaan dalam masyarakat. Dalam pandangan
remaja hal itu mengesankan adanya pertentangan dalam ajaran agama. Selain itu
remaja juga melihat kenyataan tindak
tanduk keagamaan para pemuka agama yang tidak sepenuhnya menuruti tuntutan
agama itu sendiri. Kedua kondisi ini dapat menyebabkan remaja menjadi
ragu pada ajaran agamanya.
3. Pernyataan
Kebutuhan Agama
Pada dasarnya manusia memiliki sifat senang dengan
yang sudah ada, namun disisi lain, manusia juga memiliki dorongan untuk ingin
tahu. Kedua sifat bawaan ini merupakan kenyataan dari kebutuhan manusia yag
normal. Dengan dorongan keingintahuan, maka remaja akan terdorong untuk
mempelajari/mengkaji ajaran agamanya. Jika dalam pengkajian itu terdapat
perbedaan-perbedaan atau terdapat ketidaksejalanan dengan apa yang telah
dimilikinya (konservatif) maka akan menimbulkan keraguan.
4. Kebiasaan
Remaja yang sudah terbiasa dengan suatu
tradisi keagamaan yang dianutnya akan ragu untuk menerima kebenaran ajaran lain
yang baru diterimanya/dilihatnya.
5. Pendidikan
Kondisi ini terjadi pada remaja yang
terpelajar. Remaja yang terpelajar akan lebih kritis terhadap ajaran agamanya.
Terutama yang banyak mengandung ajaran yang bersifat dogmatis. Apalagi jika
mereka memiliki kemampuan untuk menafsirkan ajaran agama yang dianutnya secara
lebih rasional.
6. Percampuran
Antara Agama dengan Mistik
Dalam kenyataan yang ada ditengah-tengah
masyarakat, kadang-kadang tanpa disadari ada tindak keagamaan yang mereka
lakukan ditopangi oleh mistik dan praktek kebatinan. Penyatuan unsur ini
menyebabkan remaja menjadi ragu untuk menentukan antara unsur agama dengan
mistik. Penyebab keraguan remaja dalam bidang agama yang dikemukakan oleh Starbuck
diatas, adalah penyebab keraguan yang bersifat umum bukan yang bersifat
individual. Keraguan remaja pada agama bisa juga terjadi secara individual.
Keraguan yang bersifat individual ini disebabkan oleh:
a)
Kepercayaan. Keraguan yang menyangkut masalah ke-Tuhanan
dan implikasinya. Keraguan seperti berpeluang pada remaja agama Kristen, yaitu:
tentang ke-Tuhanan yang Trinitas.
b)
Tempat Suci. Keraguan yang menyangkut masalah pemuliaan
dan pengaguman tempat-tempat suci.
c)
Alat Perlengkapan Agama. Misalnya: Fungsi salib pada ajaran
agama kristen, pendeta sebagai penghapus dosa pemuka agama, biarawan dan
biarawati.
Keraguan yang dialami remaja dalam bidang
agama dapat memicu konflik dalam diri remaja. Bentuk dari konflik itu adalah remaja akan dihadapkan kepada pemilihan
antara mana yang baik dan yang buruk serta antara yang benar dan salah.
Selain itu dapat juga timbul konflik di dalam diri para remaja, antara lain konflik
yang terjadi antara percaya dan ragu, konflik yang terjadi antara pemilihan
satu diantara dua macam agama atau antara dua ide keagamaan atau antara dua
lembaga keagamaan, konflik yang terjadi oleh pemilihan antara ketaatan beragama
atau sekuler, serta konflik yang terjadi antara melepaskan kebiasaan masa lalu
dengan kehidupan keagamaan yang didasarkan atas petunjuk Ilahi.
Selain itu tingkat keyakinan dan ketaatan
remaja pada agama sangat dipengaruhi oleh kemampuan mereka dalam menyelesaikan
keraguan dan konflik batin yang terjadi dalam dirinya. Dalam upaya mengatasi
konflik batin, para remaja cenderung untuk bergabung dalam peer groups-nya dalam rangka berbagi
rasa dan pengalaman. Kondisi inipun akan mempengaruhi keyakinan dan ketaatan
remaja pada agama (Jalaluddin, 2002:78-81)
E.
Motivasi Beragama pada Remaja
Menurut Yahya Jaya, motivasi beragama adalah usaha
yang ada dalam diri manusia yang mendorongnya untuk berbuat sesuatu tindak
keagamaan dengan tujuan tertentu atau usaha yang menyebabkan seseorang
beragama. Dan menurut Nico Syukur, Manusia termotivasi untuk beragama atau
melakukan tindak keagamaan dalam 4 hal:
1.
Didorng oleh keinginan untuk mengatasi
frustasi dalam kehidupan, baik:
a)
Frustasi karena kesukaran alam
b)
Frustasi karena social
c)
Frustasi karena moral
d)
Frustasi karena kematian
2.
Didorong oleh keinginan untuk menjaga
kesusilaan dan tata tertib masyarakat
3.
Didorong oleh keinginan untuk
memuaskan rasa ingin tahu atau intelek ingin tahu manusia.
4.
Didorong oleh keinginan menjadikan
agama sebagai sarana untuk mengatasi ketakutan.
Namun, karena remaja masih belum stabil
emosinya, maka di luar empat hal diatas, ada hal-hal lain yang memotivasi
remaja untuk beragama/melakukan tindakan keagamaan:
1.
Didorong oleh kebutuhan remaja akan
Tuhan sebagai pengendali emosional dan nalurinya.
2.
Didorong oleh perasaan takut atau
perasaan bersalah.
3.
Didorong oleh teman-teman sebaya
dimana ia berkelompok (Sururin, 2004:72)
F.
Sikap Remaja dalam Beragama
Pada masa remaja berabgai cara
dilakukan mereka untuk mengekspresikan jiwa keagamaan itu sangat dipengaruhi
oleh pengalaman beragama yang dilaluinya. Ekspresi dan pengalaman beragama remaja
itu dapat dilihat oleh sikap keberagamaannya, yang meliputi:
1. Percaya
Ikutan-Ikutan
Sifat beragama yang ikut-ikutan ini biasanya
hanya terjadi pada usia diantara 13-16 tahun, dan akan hilang jika pemikiran
kritis remaja sudah berkembang. Karakteristik percaya ikut-ikutan ini dapat
terlihat dari beberapa sikap berikut ini:
a)
Bersikap apatis dalam mengekspresikan
ajaran/tindakan agama.
b)
Tidak ada perhatian untuk meningkatkan
penghayatan agamanya.
c)
Tidak mau terlibat aktif dalam
kegiatan-kegiatan agama.
Jadi secara umum dapat dikatakan remaja yang
sikap keberagamaannya masih percaya ikut-ikutan dalam kelaksanakan ibadah dan
ajaran agama sekedar hanya mengikuti suasana lingkungan dimana dia hidup.
Terdapat dua faktor yang menyebabkan munculnya sikap remaja beragama, percaya
ikut-ikutan, yaitu:
a)
Jika semenjak kecil diberikan
pendidikan agama dengan cara yang menyenangkan, yang jauh dari
pengalaman-pengalaman pahit.
b)
Pada saat remaja, mereka tidak
mengalami peristiwa-peristiwa atau hal yang menggoncangkan jiwanya.
Kedua factor ini menyebabkan remaja tidak
perlu meninjau kembali ajaran/tindakan keagamaan yang diterima dimasa
kanak-kanak, sehingga cara beragama yang bersifat kekanak-kanakan masih terus
berjalan.
2. Percaya
dengan Kesadaran
Sifat beragama remaja yang percaya dengan
kesadaran ini biasanya dimulai sekitar usia 16 tahun. Terdapat beberapa hal
yang menyebabkan munculnya sikap beragama remaja yang percaya dengan kesadaran.
a)
Meredanya kegoncangan yang dialami
remaja sebagai dampak dari perubahan jasmani yang begitu cepat.
b)
Hampir selesainya pertumbuhan jasmani.
c)
Kemampuan berpikir yang sudah semakin
matang.
d)
Bertambahnya pengetahuan remaja.
Semua kondisi itu mendorong remaja untuk lebih
memikirkan dirinya sendiri, ingin mengambil tempat dan menonjol dalam
masyarakat, perhatiannya pada ilmu pengetahuan, agama dan masalah sosial
semakin bertambah. Hal ini memunculkan karakteristik remaja yang percaya dengan
kesaradan, yaitu:
a)
Dalam diri remaja muncul semangat
keagamaan yang dimulai dari munculnya kecenderungan remaja untuk meninjau
kembali cara beragama yang diterima masa kecil dulu.
b)
Remaja punya keinginan untuk
menjadikan agama sebagai suatu lapangan baru untuk membuktikan kepribadiannya. Semangat
remaja sebagai dampak adanya kepercayaan dengan kesadaran ini muncul dalam 2
bentuk:
1)
Semangat agama dalam bntuk positif
Cirinya:
-
Remaja berusaha melihat agama dengan
pandangan yang kritis.
-
Remaja tidak mau lagi menerima hal-hal
yang tidak masuk akal dalam masalah agama.
-
Remaja tidak mau mencampuradukkan
agama dengan hal-hal yang bersifat khurafat/tahayul.
-
Remaja akan menyerang adat kebiasan
yang dipandang tidak masuk akal dan kurang sesuai dengan agama.
-
Remaja melontarkan kritik kepada
pemimpin agama, yang mereka anggap kolot dan tidak mengikuti perkembangan
zaman.
2)
Semangat agama dalam bentuk negatif
Cirinya:
-
Cenderung mengambil unsur-unsur luar
yang tercampur dalam agama, seperti: khurafat/tahayyl, bid’ah dan lain-lain.
-
Senang pergi dan percaya pada dukun,
tempat-tempat tertentu atau jimat.
-
Menjadikan ayat-ayat sebagai jimat
penangkal bahaya.
3. Percaya tapi Agak Ragu/Bimbang
Puncak kebimbangan remaja pada agama terjadi
antara usia 17-20 tahun. Faktor yang menyebabkan remaja bimbang pada ajaran
agamanya adalah:
a)
Keadaan jiwa remaja yang bersangkutan. Kebimbangan
remaja itu mungkin disebabkan oleh kebebasan berpikir sehingga agama menjadi
sasaran dari arus sekularisme.
b)
Keadaan sosial serta kebudayaanyang melingkupi remaja tersebut. Kebimbangan
remaja pada agama itu mungkin disebabkan oleh keadaan masyarakat yang dipenuhi
oleh penderitaan, kemorosotan moral dan kekacauan.
c)
Adanya kontradiksi antara kenyataan yang dilihat remaja dengan apa yang
diyakinya. Kontradiksi itu meliputi:
1)
Kontradiksi antara ajaran agama dengan
ilmu pengetahuan
2)
Kontradiksi antara nilai-nilai moral
dengan tingkah laku manusia dalam kenyataan hidup.
3)
Kontradiksi antara nilai-nilai agama
dengan tindakan para tokoh agama, guru, pimpinan, orang tua, dan lain-lain.
Menurut Hurlock, kebimbangan dan kerguan akan
memunculkan dampak, antara lain:
a)
Bagi sekelompok remaja menjadi tidak
taat beragama
b)
Bagi sekelompok remaja yang lain
berusaha untuk mencari kepercayaan/agama lain yang dapat memenuhi kebutuhannya
dari pada kepercayaan yang dianut keluarganya.
c)
Bagi remaja yang tidak menemukan jalan
keluar untuk menghilangkan keraguannya sesuai dengan ajaran agamanya, mereka
akan cenderung menjadi ateistik/tidak percaya pada Tuhan/Agama.
Yang harus dilakukan agar remaja terhindar
dari dampak negatif akibat dari kebimbangan tersebut adalah:
a)
Menciptakan hubungan dengan penuh
kasih sayang antara remaja dengan orang tua atau dengan orang-orang yang
dicintainya.
b)
Kelompok/Masyarakat harus mampu
menciptakan kondisi yang mencerminkan ketekunan dalam menjalankan syariat
agama. Hal ini akan menjauhkan remaja dari keingkaran karena merasa terikat
oleh tata tertib/aturan masyarakat.
c)
Remaja bersangkutan harus berjuang
untuk mengatasi perasaan kebimbangan yang muncul terhadap Tuhan/Sifat-sifat
Tuhan/Agama.
4. Tidak
Percaya pada Tuhan atau Cenderung Ateis
Hal-hal yang menyebabkan timbulnya sikap tidak
percaya pada Tuhan dimasa remaja.
a)
Bersumber dari pengalaman pahit anak semasa kecil
Apabila seseorang anak merasa tertekan oleh
kekuasaan atau kezaliman orang tua kepadanya. Kondisi ini menyebabkan timbulnya
sikap mendendam dan menentang terhadap kekuasaan orang tua dan kekuasaan
siapapun. Setelah usia remaja sikap menentang itu dialihkan kepada Tuhan.
b)
Keadaan dan peristiwa-peristiwa yang dialami remaja, terutama
kebudayaan dan filsafat yang melingkupinya.
Seperti:
1)
Dalam masyarakat ada ide-ide dan
keyakinan yang baru yang dapat menggantikan ide dan keyakinan remaja.
2)
Temuan-temuan baru dalam bidang
pengetahuan yang bertentangan dengan ide dan keyakinan remaja.
3)
Temuan-temuan baru dalam bidang
pengetahuan yang bertentangan dengan ide dan keyakinan agama yang dianutnya.
5. Dorongan seksual yang dirasakan remaja
Dorongan seksual yang tidak terpenuhi itu
menyebabkan remaja menjadi kecewa. Apabila kekecewaannya berulang-ulang dan
bertumpuk, maka akan tumbuh dalam dirinya rasa pesimis dan putus asa dalam
hidup. Dalam kondisi seperti itu, lambat laun akan benci/marah kepada agama,
kebiasaan dan nilai-nilai akhlak, karena agama, kebiasaan-kebiasaan dan
nilai-nilai akhlak menghalanginya untuk mencapai kepuasan seksual (Zakiyah
Darajat, 2003:106-122, Sururin,2004:72-78)
G. Kesimpulan
Remaja adalah generasi penerus bangsa yang
tumbuh dan berkembang untuk melanjutkan perjuangan cita-cita bangsa. Kata
“remaja” berasal dari bahasa latin yaitu adolescere yang berarti to grow atau
to grow maturity (Golinko, 1984 dalam Rice, 1990).
H. DAFTAR PUSTAKA
- http://rumahbelajarpsikologi.com
- http://netsains.com/2009/04/psikologi-remaja-karakteristik-dan-permasalahannya/
- Golinko, 1984 dalam Rice, 1990
- Zakiyah Darajat, 2003
- Sururin,2004
- Jalaluddin, 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar